MY SPIRIT

Saya dan Anda hanya satu kita sama-sama Manusia kita sema-sama butuh iLMu dan BerBagi Setiap waKtu kita pasti dapat Ilmu walaupun ILmu tak di cari . . .

Iklan Serba-Serbi

Translator :

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Is My

Tuesday, September 7, 2010

Sejarah Ratu Kalinyamat (Jepara)

 Sejarah Ratu Kalinyamat

Ratu Kalinyamat adalah putri Sultan Trenggono cucu dari Raden Patah yaitu Sultan Demak yang pertama. Nama aslinya masih menjadi perdebatan bahkan sampai sekarang belum terbukti kebenarannya, ada yang menyebutnya Ratu Arya Jepara, Ratu Kencana dan Raden Ayu Wuryani. Nama-nama tersebut di dasarkan pada penarikan nama dari silsilah da Raden Patah. Salah satu perkawinan Raden Patah yaitu dengan Puteri Cina, di anugerahi enam putra antara lain: 

1.         Ratu Mas,
2.         Pangeran Sabrang Lor,
3.         Pangeran Sedo Ing Lepen (Pangeran Sekar),
4.         Pangeran Trenggono,
5.         Raden Kaduruwan, dan
6.         RadenPamekas

Setelah Raden Patah meninggal, Sultan Demak yang pertama digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Sabrang Lor tetapi selang beberapa tahun Pangeran Sabrang Lor wafat. Sehingga tahta kerajaan yang seharusnya diserahkan kepada Pangeran Sedo Ing Lepen tetapi tahta kerajaan kemudian diserahkan kepada Sultan Trenggono. Hal ini di karenakan Pangeran Sedo Ing Lepen
dibunuh oleh Sunan Prawoto.
Setelah penobatan Raden Thoyib bergelar Sultan Hadlirin menjadi Adipati Jepara, yang sekaligus merupakan pengampu dari putra mahkota Arya Panggiri, di karenakan putra mahkota  belum dewasa. Penobatan Raden Thoyib tersebut kira-kira terjadi pada tahun 1536, dan tetap menjadikan Kalinyamat sebagai pusat pemerintahan di Kadipaten Jepara. Kekuasaan meliputi negeri Jepara, Pati, Rembang dan Juwana.
Sementara itu Ratu Kalinyamat yang merupkan istri dari Raden Thoyib, setelah penobatan suaminyatersebut Ratu kalinyamat dalam bernegaraan lebih bersifat pendamping saja. Hampir semua urusan yang menyangkut pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada suaminya. Bahkan Patih Cie Wie Gwan, bekas ayah angkatnya di Tiongkok di undang dari tiongkok dan kemudian diangkat menjadi patih kerajaan, guna membantu pemerintahan Sultan Hadlirin.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin pembangunan kerajaan mengalami kemajuan yang sangat pesat di berbagai bidang antara lain agama Islam, ekonomi perdagangan, sosial dan kebudayaan terutama seni ukir, pertahanan dan keamanan. Dalam menjalankan pemerintahannya di pusatkan di Kalinyamat sedangkan untuk tempat pesanggrahan atau peristirahatan dan pertapaan berada di desa Mantingan yang sekarang menjadi makam Ratu Kalinyamat dan keluarganya.
Pesanggrahan di Desa Mantingan selalu dikunjungi oleh Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat apabila terdapat suatu masalah atau kepentingan. Desa Mantingan berasal dari kata pemantingan atau pementing yang artinya tempat yang sangat penting. Namun dari beberapa sumber dijelaskan Mantingan berasal dari kata Manting yang artinya pohon “Manting” atau “Salam”, tempat ini selalu dikunjungi oleh Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin serta Sunan Kalijaga.
Agar pesanggrahan ini dapat dijadikan sebagai tempat peristirahatan maka dilengkapi dengan bangunan masjid. Dalam pembangunan masjid berbagai ornament dipercayakan kepada ayah angkatnya yang bernama Patih Cie Wie Gwan, yang memang memiliki keahlihan mengukir batu. Patih Cie Wie Gwan disuruh oleh Sultan Hadlirin untuk mencari ornament ukir-ukiran dari Tiongkok tetapi yang dibawa bukan ukir-ukiran melainkan hanya batu-batu putih. Batu-batu putih tersebut akhirnya diukir oleh masyarakat Desa Mantingan atas perintah dan bimbingan dari Patih Cie Wie Gwan. Dari keahlian sang Patih inilah maka diberi gelar “patih Sungging Badar Duwung” apabila diartikan sungging berarti ‘memahat” Badar berarti “batu’ ata “akik” sedangkan Duwung berarti “Tajam’ atau dalam bahasa Jawa berarti “Keris”. Sehingga keahlian mengukir ini sampai sekarang dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat desa Mantingan dan Industri mebel.
Pembangunan masjid Mantingan ini ditandai dengan Cadrasengkala yang berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari” yang nilainya : “Rupa = 8, Brahmana = 4, Warna = 7 dan Sari = 1” jadi apabila dibalik menjadi 1748. Waktu ini menunjukkan masa pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Setelah lama menikah Sultan Hadlirin dengan Ratu Kalinyamat belum dikaruniai putra sehingga menimbulkan kegelisahan. Usaha yang dilakukan yaitu mengambil putra angkat dari Sultan Hasanuddin Banten bernama Dewi Wuryan Retnowati, tetapi tidak lama kemudian meninggal dunia. Usaha Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadliri untuk tetap berkeinginan memiliki putra terus dilaksanakan demi kelangsungan keturunannya sehingga sang Ratu Kalinyamat menyuruh Sultan Hadliri menikah lagi. Ratu Kalinyamat rela dimadu dan demi untuk mendapatkan penerus kerajaan. Konon untuk mengurus perkawinan ini dilakukan oleh Ratu Kalinyamat sendiri dengan menjodohkannya pada Raden Ayu Probodinabar putri dari Kanjeng Sunan Kudus.
Ini berarti selain perkawinan yang didasari oleh keinginan mendapatkan keturunan juga didasari perkawinan politik yaitu menguatkan kedudukan Sultan Hadlirin yang merupakan perpaduan dari dua kekuasaan besar. Ketika di Demak terjadi krisis perebutan kekuasaan terjadilah serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh Sunan Prawoto, putra dari Sultan Trenggono terhadap “Pangeran Sekar” (Pangeran Sedo Ing Lepen) kakak kandung dari Sultan Trenggono. Oleh karena itu, yang diangkat sebagai sultan adalah Sultan Trenggono.
Setelah Sultan Trenggono wafat kemudian Sunan Prawoto naik tahta menggantikan ayahandanya tetapi dalam waktu yang tidak lama kemudian Sultan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang melalui tangan abdinya yang bernama Rungkut.
Setelah Sunan Prawoto wafat, atas prakarsa mayoritas wali Sembilan diserahkan kepada menantu sultan Trenggono yang bernama Maskarebet atau Joko Tingkir. Setelah dinobatkan menjadi raja Demak Bintoro ia bergelar Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat kerajaanya dari Demak Bintoro ke Pajang pada tahun 1568 M yaitu daerah Tingkir tempat kelahirannya (di dekat Boyolali).
Tujuan memindahkan pusat kerajaan dari Demak Bintoro ke Pajang yaitu mendekati para pendukungnya di Tingkir serta menjauhi lawan-lawan politiknya. Joko Tingkir menjadi raja pertama dari kerajaan Pajang ini. Kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri (seorang dari wali 9), dan segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk menghindari munculnya gejolak pasca penobatan Joko Tingkir sebagai sultan, di Demak Bintoro maka diangkatlah Arya Panggiri menjadi Adipati di Demak Bintoro / raja kecil namun umurnya masih terlalu muda sehingga dia menjadi “ Yuda Raja” / raja muda dan sebagai wali rajanya adalah Sultan Hadlirin yang berkedudukan di Jepara. Sultan Hadlirin kemudian memboyong kedua adiknya yaitu Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin beserta harta kekayaan Kerajaan Demak.
Setelah tuntutan pengadilan atas terbunuhnya Sunan Prawoto tidak dikabulkan bahkan mendapatkan jawaban yang mengecewakan maka Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat segera undur diri bahkan tidak berpamitan dengan membawa perasaan kecewa. Sepulang dari pendopo “ndalem Sunan Kudus” Pangeran Hadlirin dan Ratu Kalinyamat dihadang oleh para Sorengpati-Sorengpati (Brutus / pembunuh bayaran) dan akhirnya Sultan Hadlirin di keroyok hingga terluka parah dan jiwanya tidak tertolong. Setelah terluka parah para ”abdi dalem” menyelamatkan jiwa Sultan Hadlirin dengan memapah/menandu untuk dibawa pulang ke kerajaan Kalinyamatan. Peristiwa itu berlangsung pada senja hari menjelang matahari terbenam (Jawa: ‘surup”).
Peristiwa ini dijadikan sebagai momentum pemberian nama-nama desa yang dilalui oleh Sultan Hadlirin berdasarkan keadaan jasatnya seperti:
Desa Damara yang berasal dari kata dammar “thing, uplik” / lampu teplok. Pada waktu itu telah banyak orang yang menghidupkan ‘damar”, sehingga disabda besok rejaning jaman desa ini akan diberi nama desa Damaran. Perjalanan dilakukan ke arah barat. Keadaan Sultan Hadlirin lukanya menganga dan mengeluarkan darah segar sehingga becek / “jember” sehingga disabda kelak akan menjadi desa Jember.
Sultan Hadlirin dibawa atau ditandu ke arah barat keadaan lukanya semakinj parah berjalannya ‘merambat-rambat” sehingga diberi nama desa Perambatan. Dari kata “merambat”. Perjalanan terus dilanjutkan kea rah barat, kondisi fisik Sultan Hadlirin semakin kritis darah mengalir kesekujur tubuh. Para abdi dalem berusaha untuk membersihkan darah yang membasah disekujur tubuhnya agar bersih maka sesampainya di sebuah sungai berhenti sejenak untuk membasuh luka dan darah tersebut. Para abdi dalem merasa terpana setelah darah dan luka-lukanya dibersihkan karena air sungai berubah menjadi “wungu” sehingga disabda kelak menjadi desa Kaliwungu.
Para abdi dalem yang memapah / menandu telah kepayahan sehingga sempoyongan maka di sabdanya kelak nanti “rejane jaman” menjadi desa Mayong. Dari kata sempoyongan sehingga menjadi Mayong. Perjalanan terus dilanjutkan namun suasana cuaca yang tidak bersahabat hujan dan angin turun lebat sehingga abdi dalem yang memapah / menandu terjatuh dan jasad Sultan Hadlirin jatuh di sungai dan hanyut menyangkut dikaki sebuah jembatan sehingga disabda kelak pada saat ramainya jaman akan menjadi Desa Karasak. Karasak berasal dari kata krasak-krasak jasad Sultan Hadlirin yang tersangkut di kaki jembatan airnya berbunyi krasak-krasak.
Perjalanan terus dilanjutkan hingga sampai di istana Kalinyamatan dan jasad Sultan Hadlirin dikebumikan di Desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara.
Atas dasar peristiwa tersebut maka masyarakat desa yang berada disepanjang jalan Jepara mulai dari desa Damaran yang dilalui pertama kali oleh Sultan Hadlirin hingga desa Krasak masyarakatnya setiap tanggal 15 Ruah mengadakan tradisi Baro’atan yang maksud dan tujuannya adalah untuk mengenang, menghormati wafatnya Sultan Hadlirin dan memperingati hari jadi dari masing-masing desa tersebut dengan mengadakan selamatan / kenduri bersama dengan hidangannya yaitu nasi ambengan dan dilengkapi dengan juwadah puli yang ditaburu parutan kelapa serta apem di musolla-musolla, masji-masjid dan di balai desa-balai desa derta pemanjaran uplik di depan rumah-rumah penduduk. Selain itu juga untuk memeriahkan suasana diadakan pawai obor/oncor yang dilanjutkan tirakatan. Untuk memeriahkan suasana itu di Pasar Mayong diadakan pameran mobil-mobilan dari kertas dengan berbagai bentuk selama satu minggu.
Meninggalnya Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto membuat kepedihan yang mendalam dan kekalutan luar biasa dari Ratu Kalinyamat sehingga dia bersumpah akan mengadakan “Tapa Ngrawe” di Gunung Donoroso. Tapa Ngrawe artinya bertapa tanpa sehelai / selembar kainpun atau bertapa dengan tanpa memakai panji-panji / simbul kerajaan (meninggalkan segala bentuk kemewahan duniawi). Sumpah ini dilakukan sebagai bentuk protes dan meminta pengadilan dari Tuhan atas meninggalnya kedua orang yang sangat dicintainya. Pertapaannya ini tidak dapat diakhiri sebelum keramas darah, dan membersihkan / mengkesetkan telapak kakinya “dijambul” / rambut kepala Arya Penangsang sebagai balas dendam atas kematian Sultan Hadlirin dan Sultan Prawoto. Selain itu Ratu Kalinyamat juga bersayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang kalau perempuan akan diakui sebagai saudara “sinoro wedi” bila laki-laki akan diberikan kedua putera angkatnya yang bernama Rr. Ayu Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin.
Tindakan ini membingungkan Sultan Hadiwijaya yaitu kakak ipar dari Ratu Kalinyamat karena meninggalkan keraton sehingga Sultan Hadiwijaya berusaha untuk menemukan Sang Ratu. Akhirnya Sultan Hadiwijaya menemukan tempat pertapaannya dan meminta Ratu Kalinyamat pulang ke keraton tetapi menolak dan bersumpah sebelum berhasil membalaskan kematian dari kakak dan suaminya belum mau meninggalkan tempat pertapaannya. Dari perkataan tersebut Sultan Hadiwijaya berjanji akan berusaha untuk mewujudkan keinginan sang Ratu.
Kemudian Sultan Hadiwijaya mengadakan pertemuan yang diikuti oleh Ki Panjiwa, Ki Pamanahan dan Ki Juru Mertani (Murid Sunan Kalijaga) dari pertemuan ini menghasilkan suatu kesepakatan serta mengatur strategi untuk menghadapi Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya mengadakan pengumuman yang isinya barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan diberi hadiah bumi Pati dan Alas Mentaok (Mataram). Akhirnya sang putra angkat bernama “Sutawijaya” menyanggupi dan menjadi senapati perang ketika baru berumur 16 tahun.
Untuk menghadapi Arya Penangsang maka diatur strategi yaitu dengan menantang Arya Penangsang melalui sepucuk surat yang diberikan oleh pekatik / juru pencari rumput dengan memotong telinganya. Telinga tersebut kemudian digantili dengan surat tantangan.
Tukang pekatik Arya Penangsang dengan mengerang-ngerang kesakitan dan akhirnya mengadukan perihal surat tantangan ini bersama Patih Mataun. Dalam surat tantangan itu berbunyi “Hai apabila engkau seorang laki-laki sejati, ayo berperang-tanding. Jangan membawa wadya bala tentara, menyeberanglah di barat seberang sungai Bengawan Sore Caket, aku tunggu di situ”. Karena merasa mendapatkan tantangan maka Arya Penangsang mukanya merah padam meja didepannya ditendang hingga pecah berkeping-keping, sementara piring dan mangkok berhamburan kesana kemari, lalu berdiri dan menaiki kuda “Gagak Rimang” dengan membawa tombak “Dandang Mungsuh”.
Sedangkan Sutawijaya sudah menunggu diseberang Kali Bengawan Sore Caket beserta 200 prajurit. Karena Kuda Gagak Rimang kuda jantan maka Sutawijaya menaiki kuda betina dengan warna putih bersih yang akhirnya Kuda Gagak Rimang menjadi binal dan naik birahinya sehingga mengejar Kuda Sutawijaya. Arya Penangsang tidak begitu menanggapi tantangan Sutawijaya bahkan memaki-makinya, “Hai Sutowijoyo, engkau anak kecil bukan tandinganku !”. mana Hadiwijoyo…manaa… akan kupenggal kepalanya. Pada kesempatan inilah Sutawijaya menggunakan kelengahan Arya Penangsang dengan melepaskan tombak Kyai Pleret ke arah perutnya.
Arya Penangsang yang sakti mandraguna terluka, usunya terburai keluar kemudian mengalungkan usunya digagang kerisnya yang bernama “Brongot Setan Kober” sambil menantang “Hai Sutowijoyo engkau anak kecil bukan tandinganku, mana Hadiwijono…! Mana… Hadiwijoyo. Sutowijoyo mengetahui setelah Arya Penangsang terluka maka menjauhlah kudanya dan sambil meledek dan menantangnya, karena merasa diledek dan ditantang emosinya tidak terkontrol akhirnya Keris Brongot Setan Kober dihunus dari warangkanya dan mengenai ususnya sendiri hingga akhirnya Arya Penangsang Tewas. Kematian Arya Penangsang tewas disampaikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ratu Kalinyamat. Sejak saat itu Ratu Kalinyamat mengakhiri masa pertapaannya dan berkemas kembali ke istana kerajaan.
Sejak sekembalinya Ratu Kalinyamat, Keraton Kalinyamatan kembali di urus oleh Sang ratu sampai akhir hayatnya. Dan disemayamkan di samping suaminya. Konon cerita mistim makam ratu kalinyamat sebagai makam mempercepat jododh.

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails